Batas

Sebuah puisi karya Farhan Al-Farizi

Bisakah kau lihat bagaimana alam memberikan kehidupan?
Apakah kau telah memberikan kehidupan pada alam?

Disaat tetes terakhir air,
menyentuh tanah...

Disaat ikan terakhir telah mati,
disaat pohon terakhir telah tumbang...

...Apakah guna uang?

En Finir


Oleh: Andini Ginanti Tuzzahra

"Hey Devin, apa kau tidak berniat untuk mengambil jatah air minum hari ini?" Wisnu berteriak dari ujung jalan sambil melambaikan tangannya padaku.
"Berhentilah berteriak atau mereka akan mendengarmu, lalu kau akan dibunuh dan jatah air minum itu akan menjadi cerita lama!" Aku mendesis sebal kearahnya sambil mengingatkan betapa kejamnya kehidupan pada saat ini.
Wisnu langsung melotot tajam, raut wajahnya berubah menjadi sangat cemas, gerak tubuhnya terlihat begitu gelisah. Pastinya saat ini dia begitu ketakutan, sama seperti sisa manusia yang masih hidup pada saat ini. Bagaimana kami tidak takut, yah jujur saja kalau boleh aku menyalahkan, maaf ralat—maksudku kalau boleh kami semua menyalahkan, ini semua jelas-jelas kesalahan nenek moyang kami, para manusia yang hidup sebelum masa kami, dimana kami tinggal pada tahun 2213.
Kau tahu betapa tersiksanya kami? Global Warming yang menyerang dunia bahkan sudah sampai titik akhir. Menyebabkan kami terkurung dalam kubah pelindung agar dapat bertahan hidup.
Bayangkan saja, sekarang hanya ada 2 pohon yang tersisa di muka Bumi ini, yang pertama ada di  Los Angeles dan yang kedua ada di Yogyakarta. Beruntung aku dilahirkan di Yogyakarta, tinggal disini membuatku mendapatkan sedikit tambahan pasokan oksigen sebesar 5% untuk tetap hidup tapi saja dengan kosekuensi yang setimpal, seperti menjadi sasaran rudal nuklir dari tentara musuh.
Hampir 88% air di muka Bumi telah tercemar dengan logam berat dan zat-zat beracun, hanya pabrik-pabrik besar yang lumayan mampu menetralisir air walau dalam pasokan yang sangat sedikit, ditambah jumlah uang yang dikeluarkan tidaklah sedikit.
Dan lebih parahnya, setelah kami yang harus menerima amukan dari alam, kami juga harus menanggung beban berat, tersiksa oleh benda dengan teknologi super yang diciptakan di masa lalu. Benda yang mampu membuat kami terpojok dengan terror gilanya.
Coba tebak apa nama benda itu, benda yang mampu membuat manusia terlena sampai sempat lupa caranya bergerak. Mungkin kalau dulu tidak ada gerakan revolusi dari sisa manusia yang sadar akan dampak bahaya dimasa depan dengan kebahagiaan semu yang diciptakan benda tersebut, benda yang dapat memusnahkan kita. Aku jamin sekarang manusia mungkin hanyalah sebuah legenda kuno.
Semakin canggih teknologi, semakin membunuh kita secara perlahan, para robot semakin memperbaharui diri sehingga hampir menyamai manusia, mereka bahkan sudah mampu menyeimbangi kinerja otak tanpa perlu bantuan sebuah program, namun sampai sekarang, pembeda mereka dengan kita adalah sebuah perasaan.
Sepertinya karena mereka sudah dapat berpikiran luas itulah mereka memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai Bumi sepenuhnya dengan membasmi manusia. Ini keuntungan untuk mereka! Para manusia sudah kesulitan dan terdesak dengan keadaan Bumi yang sekarang sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan perlawanan, kami hanya bisa bersembunyi dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kami sudah terkena amukan alam yang sangat dahsyat ditambah dengan terror para robot, peribahasanya sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa kami masih bisa bertahan hidup hanya dengan 2 pohon yang tersisa, yang otomatis sebagai satu-satunya sumber oksigen di muka Bumi ini.
Tentu saja kemajuan teknologi menyisakan keuntungan. Kami dapat membuat rekayasa genetika dimana akar dari kedua pohon tersebut dibuat menjadi banyak, sangat panjang dan membesar sehingga mampu mencapai setiap titik strategis pada semua kota di muka Bumi, setelah itu akarnya akan muncul ke permukaan tanah dan berdiri tegak setinggi gedung dengan 50 lantai. Kami juga membuat agar sebuah akar dapat menghasilkan oksigen sebagaimana daun dengan penambahan sel-sel stomata kecil dan juga sedikit klorofil sehingga warna akarnya sudah bukan berwarna coklat lagi. Jadi setiap kota akan menerima pasokan oksigen secukupnya walaupun tidak dapat menyaingi oksigen yang dihasilkan oleh intinya.
Semua pasukan robot selalu berusaha menghancurkan 2 pohon yang tersisa karena jika kedua pohon tersebut mati, maka otomatis semua akarnya akan mati dan seluruh kota akan kehilangan pasokan oksigen.
Berbeda jika para robot hanya menyerang akarnya, mau dipotong beberapa kalipun mereka akan tumbuh dengan sendirinya karena pada dasarnya akar tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat beregenerasi dengan syarat inti pohon harus tetap terjaga.
"Heh! Mau sampai kapan kau melamun Vin?" Wisnu menepuk pundakku dengan kasar sampai aku terlonjak saking kagetnya.
"Hehehe..."Aku hanya bisa cengengesan. "Eh Nu, memangnya tempat pembagian air kali ini ada di mana?"
"Em...kalau tidak salah ada di Taman Kota." Jawabnya sambil terlihat berfikir.
"Itukan berbahaya." Aku mengingatkan. "Bagaimana mungkin mereka bisa membagikan bantuan di tempat terbuka seperti itu? Apa kau yakin ini bukan jebakan para robot?"
Kalian pasti akan berpikir ini aneh, kami berlindung di dalam kubah tapi aku masih mengkhawatirkan hal-hal yang bisa saja merupakah jebakan dari para robot.
Ada satu hal yang perlu aku ingatkan.
Di dunia yang kejam ini, tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya sekalipun kalian sama-sama manusia yang dihantui terror para robot.
Pengkhianatan bisa saja terjadi dengan iming-iming perlindungan.
Wisnu menatapku tajam lalu memejamkan matanya perlahan, tarikan napasnya bahkan sampai terdengar. "Aku pikir lebih baik kita kesana sekarang, sungguh aku tidak rela jika sampai kehilangan asset berharga seperti air, satu botol itu menopang hidupku 1 minggu ke depan." Dia bahkan masih memegang teguh pemikirannya tanpa mendengarkan pemikiranku.
"Bagaimana kalau kita melalui jalan memutar? Siapa tahu kita bisa memastikan ini jebakan atau bukan. Karena yang pasti ini satu-satunya saran terbaik pada saat ini." Aku menjentikkan jari, berharap dia mau menuruti saranku. Dia mengangguk pelan. Oke sekarang waktunya pengintaian.
Jalan memutar memang memakan jarak yang cukup jauh untuk mencapai taman kota. Tapi menurutku ini setimpal dengan kecilnya resiko yang ditanggung, masalahnya sekarang kami sudah sangat kelelahan dan kehausan, terik matahari hari ini benar-benar tidak bersahabat. Beberapa kali ku dapati Wisnu melirik kearahku dengan tajam, sepertinya dia hendak menyalahkanku akan rasa lelah dan haus ini namun diurungkan begitu saja.
"Tunggu!" Aku menghentikan langkahku sambil mencengkeram lengan Wisnu agar dia berhenti. Aku menatap lekat-lekat ke arah gang kecil di sebelah perumahan kumuh, ada yang aneh disana.
"Ada apa?" Wisnu mendesis sambil menatapku jengkel, terserahlah dia mau kesal atau tidak pada semua tingkah lakuku hari ini. Yang jelas aku hanya ingin kami bisa selamat sampai tujuan.
Tanganku menunjuk lurus kearah gang, Wisnu yang notabenenya mendapat predikat jenius di sekolah dapat dengan cepat mengerti keanehan yang dirasakan di gang gelap itu. Dia mengeluarkan kacamata penglihat jarak jauh buatannya sendiri, tiba-tiba air mukanya langsung berubah menjadi cemas. Wajahnya juga sempat berwarna sedikit biru karena lupa bernapas.
"Ada apa?" Suaraku terputus, entah kenapa aku merasa ketakutan sendiri.
"Kau benar." Wisnu mengusap wajahnya frustasi. "Ini jebakan."
Seperti tersambar petir di siang bolong, tubuhku langsung melemas bahkan sampai harus mencari senderan agar tetap bisa berdiri tegak.
"Bagaimana nasib orang tua kita dan semua orang?" Wisnu berucap lirih. "Kita harus menyelamatkan mereka!" Lanjutnya dengan nada seolah-olah itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan.
"Berhentilah bersikap sok pahlawan seperti itu! Kita bisa mati sia-sia jika pergi kesana tanpa sebuah rencana!" Aku membentaknya dalam suara pelan sambil mendorong tubuhnya kasar.
"Hey aku bukan pengecut sepertimu!" tangannya mengepal lalu mendarat kearah dada bagian kiriku. "Aku masih punya perasaan untuk menolong mereka! Waktu kita tidak banyak kau tahu!" Dia mengumpatku lalu nekat berlari kearah taman, untung aku sempat mendorongnya hingga terjatuh, kalau tidak begini dia tidak akan pernah mendengarkan perkataanku.
"Kau ini jenius tapi tidak pernah mau berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, si nekat yang bodoh! Sekarang diam dan dengarkan rencanaku!" Aku membisikkan rencanaku, lalu dia mengangguk dan berlari perlahan kearah taman dengan sembunyi-sembunyi, mengikuti rencana yang sudah aku buat.
Aku merogoh saku bajuku, tersenyum melihat benda merah kecil yang sekarang berada tepat di telapak tanganku. Untung saja aku selalu berjaga-jaga membawa sebuah dinamit kecil yang mampu meledakkan sebuah gedung besar.
Kali ini aku mencari tempat yang cocok untuk jadi pengalihan, sepertinya sebuah gudang beras yang sudah tidak terlihat terawat itu tepat, karena aku yakin itu sudah tidak digunakan lagi dan sepertinya tidak ada orang di dalam sana.
Semoga saja perhatian para robot teralihkan kearah gudang tersebut dan para warga berhasil di evakuasi Wisnu ke lorong bawah tanah yang memang disiapkan pemerintah untuk tempat persembunyian saat terjadi hal yang tidak terduga seperti saat ini.
Bom.... Ledakan besar terjadi, gudang tadi sudah tidak berbentuk lagi, beberapa puingnya berterbangan. Namun seperti perkiraanku, tempat jatuhnya tidak akan mengenai Taman Kota.
Dan benar saja, ledakan itu mampu membuat perhatian para robot teralihkan, namun sialnya aku lupa mencari tempat persembunyian yang aman. Waktuku benar-benar sedikit, untuk lari dari tempat ini pasti tidak akan sempat, lalu aku harus bagaimana?
Untung saja mataku dapat menemukan sebuah tong sampah, aku semakin bersyukur ketika tahu tong sampah itu isinya sedang sedikit dan tubuh kecilku mampu masuk kedalam sana, ku tutup tong tersebut secara perlahan.
Langkah kaki besi mereka terdengar jelas melewati tong untuk mendekat kearah gudang, bulu kudukku bahkan berdiri saking ketakutannya, napasku tertahan—takut-takut hal itu mampu terdengar—aku serasa berdiri diantara hidup dan mati.
Mereka bercakap-cakap dengan nada yang terdengar membentak, masalahnya aku tidak dapat mengerti itu, sepertinya mereka menggunakan bahasa robot. Entah kenapa saat ini aku benar-benar yakin bahwa aku sedang dalam keadaan terancam, salah langkah sedikit nyawaku pasti melayang.
Setelah tidak terdengar lagi suara mereka dan langkah kaki besi tersebut terasa semakin menjauh, aku putuskan untuk segera keluar dari tong sampah karena cadangan oksigennya semakin menipis dan napasku mulai terasa berat. Aku mengintip sedikit dari lubang kecil disana, hanya untuk memastikan bahwa keadaan sudah aman.
Aku mengangkat kakiku secara perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Prang... Sial! Aku malah terjerembab karena kehilangan keseimbangan, suara stainless steel terdengar begitu keras dan dapat kulihat bahwa pasukan robot tersebut kembali kearah sini sambil menodongkan senjata. Habislah riwayatku!
Dengan segenap kekuatan aku segera bangkit, tapi satu peluru menembus bahuku, rasanya sakit sekali. Tapi ini bukan penghalangku untuk segera berlari sekencang-kencangnya. Kali ini peluru lainnya menembus lenganku, darah segar terus mengalir dari lenganku, rasanya sangat ngilu dan perih karena pelurunya ku yakini menyangkut di tulangku. Kepalaku menjadi sangat berat, darahnya terus mengalir tanpa henti. Ini bisa berakibat fatal.
Lagi, pelurunya mengenai tulang betisku. Membuat keseimbangan tubuhku hancur seketika, dengan cepat tubuhku jatuh ke tanah, kulit wajahku terasa panas dan perih karena bergesekan dengan kerikil tajam, apalagi salah saru kerikilnya mengenai selaput mataku.
Semua robot mendekat dan mengepungku, rasanya arwahku sudah melayang begitu saja, rasanya takut sekali sampai dadaku sesak. Satu robot maju mendekatiku, menodongkan senapan laras panjang yang dibawanya tepat di keningku, aku menelan ludah. Dengan satu sentakkan, senapan itu berbunyi dan semuanya menjadi buram seketika.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, mataku terasa perih karena cahaya yang benar-benar menyilaukan. Setelah beberapa saat, mataku baru terbiasa dengan cahaya tersebut. Rasanya ruangan ini begitu asing, baunya juga tidak sedap dan aura mencekam terasa begitu nyata tapi kenapa aku tidak merasakan ketakutan seperti tadi?
Beberapa robot menyeramkan terlihat mendekat, aku seharusnya sangat ketakutan sampai terkencing-kencing di celana, tapi kenapa rasa takut itu seolah hilang ditelan Bumi?
"Dia berhasil!" Salah satu robot yang mengenakan penutup mata berteriak kegirangan sampai meloncat-loncat, aneh sekali mendengar robot berteriak dengan kegirangan, tapi kenapa aku tidak penasaran?
Robot yang mengerubungiku semakin banyak, tapi aku malah merasa semakin nyaman dengan keadaan ini. Ini aneh, kenapa aku malah merasa nyaman?
"Selamat bung!" Robot berambut hijau menepuk pundakku dengan bersemangat."Kau berhasil menjadi bagian dari kami." Lanjutnya.
Semua robot disitu tersenyum lebar, tawa renyahpun terdengar menggema di seisi ruangan. Apa aku tidak salah lihat? Bagaimana bisa mereka terlihat begitu ekspresif? Apa jangan-jangan selama ini mereka memang sudah memiliki perasaan emosi, hanya para manusia yang tidak peka saja untuk menyadari keadaan ini? Lalu jika seperti ini. Sekarang hal apa yang bisa membedakan kami dengan mereka?
"Ini tugas pertamamu bung!" Robot berwarna kuning menulis di papan tulis dengan huruf yang sangat membingungkan, tiba-tiba mataku terasa perih. Bukan hanya karena tulisan di depan sana yang tidak dapat aku mengerti, tetapi entah kenapa aku juga mempunyai naluri bahwa sepertinya ada sebuah zat di papan tulis itu yang mampu melukai mataku.
"Aku tidak mengerti." Ujarku.
"Oh iya aku lupa memasangkan program penerjemahnya!" Robot yang mengenakan setelan jas dokter menepuk keningnya perlahan, dia berjalan meninggalkan tempatnya semula yang ada di pojok ruangan. "Begini, tugas pertamamu adalah membasmi para manusia."
"Aku manusia." Balasku cepat dengan nada membentak.
"Bukan." Dia menjawab dengan enteng sambil menggelengkan kepalanya. "Sekarang, kau itu robot seperti kami."
Robot berkepala merah menyela. "Atau lebih tepatnya, kau itu manusia pertama yang berhasil kami jadikan robot, hahaha!" Tawanya bahkan terdengar menggelegar.
Deg... Jantungku terasa berdegup lebih kencang dari beberapa detik yang lalu, serasa ada yang menyiksa batin dan menyesakkan dada. Tapi entah mengapa malah terasa biasa saja.
Aku semakin yakin bahwa sudah tidak ada lagi yang namanya perasaan emosi atau semacamnya dalam diriku. Dan kalau mereka bilang aku adalah manusia pertama yang berhasil dijadikan robot, hal tersebut semakin menguatkan keyakinanku.
Pasalnya itu semua karena Papa pernah memberitahuku bahwa ada isu para robot sedang melakukan eksperimen besar-besaran dengan kelinci percobaan manusia yang berhasil mereka tangkap.
Walaupun begitu, tetap saja aku merasa seperti tengah menelan kenyataan pahit yang begitu menyakitkan. Menyakitkan jika harus menyadari bahwa aku adalah bahan percobaan yang berhasil, karena aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Sesuatu yang buruk yang terlahir dari tanganku sendiri.
"Kau sudah siap melakukan tugasmu?" Robot berkepala merah bertanya sambil mempertunjukan senyum jahat miliknya. "Baiklah ! Sekarang kau kejar orang ini! Dia berani mengancurkan rencana kami untuk menjebak para manusia bodoh itu!" Dia bahkan dengan kejam memutuskannya tanpa menunggu jawaban dariku dulu.
Ku raih foto itu perlahan, mataku terbelalak. Rasanya seperti harus meminum satu gentong racun yang beratnya bisa sampai ber ton-ton.
Kau pasti bisa menebak siapa orang yang berada dalam foto tersebut, dia adalah salah satu orang yang berharga untukku, orang yang bersedia memperlihatkan sedikit kebahagiaan hidup sebagai manusia.
Dia Wisnu.
Sahabat terdekatku yang bahkan sudah kuanggap sebagai saudara seperjuangan di dunia yang kejam ini.
Aku benar-benar tidak mau membunuhnya, tapi entah kenapa otak dan keinginanku tidak lagi sinkron seperti sebelumnya, tubuhku bergerak dengan sendirinya tanpa dapat ku kendalikan. Gerakannya begitu cepat sampai aku sadar bahwa sekarang aku sudah berada di depan pintu persembunyian seluruh warga kota. Tanganku menekan tombol sandi.
Kumohon! Siapapun, selamatkan dia! Selamatkan umat manusia yang tersisa!


Indah, Nyaman, Adiwiyata

Assalamu'alaikum!

Adiwiyata, Sudah tentu lingkungan yang indah adalah dambaan setiap insan. dengan lingkungan yang mendukung, produktifitas pasti akan meningkat, karya-karya yang kita hasilkan pun memiliki potensi untuk menjadi lebih mantap lagi. keindahan tersebut tentu perlu kita perjuangkan, salah satunya dengan program adiwiyata.

Apakah itu "Adiwiyata"?

Adiwiyata, Kata adiwiyata berasal dari 2 kata Sansekerta "Adi" dan "Wiyata"."Adi" mempunyai makna: besar, agung, baik, ideal atau sempurna. Sementara "Wiyata" mempunyai makna: tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, norma dan etika dalam berkehidupan sosial.
dapat ditarik kesimpulan, bahwa Adiwiyata berarti adalah sebuah  tempat yang ideal untuk seseorang menimba ilmu, untuk belajar, untuk berkembang.

Adiwiyata sendiri merupakan program yang sudah dilaksanakan dibanyak sekolah di Indonesia, sekolah yang memiliki gelar "Adiwiyata" adalah sekolah-sekolah pilihan, yang secara kualitas memenuhi kriteria-kriteria penilaian adiwiyata

Menurut hasil wawancara yang dimuat oleh TabloidJubi Kriteria umum yang dinilai dalam program ini adalah:

Hubungan Visi Misi Instansi terkait dengan Adiwiyata

Kata kuncinya adalah pelestarian lingkungan, pengendalian kerusakan lingkungan dan pengendalian pencemaran lingkungan  masuk dalam visi misi dan tujuan sekolah tersebut

Implementasi Pada Kegiatan Pembelajaran

bisa berupa pesan-pesan yang di sampaikan pada kegiatan pembelajaran, kegiatan secara langsung terhadap isu lingkungan yang sedang terjadi, misalkan penanggulangan masalah saluran air untuk menghindari banjir, maupun hal-hal praktis lainnya.

Sarana dan Prasarana yang mendukung

"sarana prasarana media pembelajaran di sekolah, misalnya ada pondok kompos yang difungsikan sebagai media pembelajaran. Untuk  nonfisik seperti alat dokumenentasi." (M. Bakri Nongko, tim Penilai dari Pusat Pengelolaan Eco Region Papua Kementerian Lingkungan Hidup)

Sudah tentu, dengan benar-benar terpenuhinya kriteria-kriteria yang tercantum diatas lingkungan kita dapat menjadi lingkungan yang indah, dimana kita dapat menikmati setiap detik yang kita luangkan untuk menimba ilmu tanpa masalah dengan keadaan lingkungan fisik kita.

Pages: 1 2 3 4
Powered by Blogger.