Oleh: Andini Ginanti Tuzzahra
"Hey Devin, apa kau tidak berniat untuk
mengambil jatah air minum hari ini?" Wisnu berteriak dari ujung jalan
sambil melambaikan tangannya padaku.
"Berhentilah berteriak atau mereka akan
mendengarmu, lalu kau akan dibunuh dan jatah air minum itu akan menjadi cerita
lama!" Aku mendesis sebal kearahnya sambil mengingatkan betapa kejamnya
kehidupan pada saat ini.
Wisnu langsung melotot tajam, raut wajahnya
berubah menjadi sangat cemas, gerak tubuhnya terlihat begitu gelisah. Pastinya
saat ini dia begitu ketakutan, sama seperti sisa manusia yang masih hidup pada
saat ini. Bagaimana kami tidak takut, yah jujur saja kalau boleh aku
menyalahkan, maaf ralat—maksudku kalau boleh kami semua menyalahkan, ini semua
jelas-jelas kesalahan nenek moyang kami, para manusia yang hidup sebelum masa
kami, dimana kami tinggal pada tahun 2213.
Kau tahu betapa tersiksanya kami? Global Warming yang menyerang dunia bahkan sudah
sampai titik akhir. Menyebabkan kami terkurung dalam kubah pelindung agar dapat
bertahan hidup.
Bayangkan saja, sekarang hanya ada 2 pohon
yang tersisa di muka Bumi ini, yang pertama ada di Los Angeles dan yang
kedua ada di Yogyakarta. Beruntung aku dilahirkan di Yogyakarta, tinggal disini
membuatku mendapatkan sedikit tambahan pasokan oksigen sebesar 5% untuk tetap
hidup tapi saja dengan kosekuensi yang setimpal, seperti menjadi sasaran rudal
nuklir dari tentara musuh.
Hampir 88% air di muka Bumi telah tercemar
dengan logam berat dan zat-zat beracun, hanya pabrik-pabrik besar yang lumayan
mampu menetralisir air walau dalam pasokan yang sangat sedikit, ditambah jumlah
uang yang dikeluarkan tidaklah sedikit.
Dan lebih parahnya, setelah kami yang harus
menerima amukan dari alam, kami juga harus menanggung beban berat, tersiksa
oleh benda dengan teknologi super yang diciptakan di masa lalu. Benda yang
mampu membuat kami terpojok dengan terror gilanya.
Coba tebak apa nama benda itu, benda yang
mampu membuat manusia terlena sampai sempat lupa caranya bergerak. Mungkin
kalau dulu tidak ada gerakan revolusi dari sisa manusia yang sadar akan dampak
bahaya dimasa depan dengan kebahagiaan semu yang diciptakan benda tersebut,
benda yang dapat memusnahkan kita. Aku jamin sekarang manusia mungkin hanyalah
sebuah legenda kuno.
Semakin canggih teknologi, semakin membunuh
kita secara perlahan, para robot semakin memperbaharui diri sehingga hampir
menyamai manusia, mereka bahkan sudah mampu menyeimbangi kinerja otak tanpa
perlu bantuan sebuah program, namun sampai sekarang, pembeda mereka dengan kita
adalah sebuah perasaan.
Sepertinya karena mereka sudah dapat
berpikiran luas itulah mereka memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai Bumi
sepenuhnya dengan membasmi manusia. Ini keuntungan untuk mereka! Para manusia
sudah kesulitan dan terdesak dengan keadaan Bumi yang sekarang sehingga tidak
mampu lagi untuk melakukan perlawanan, kami hanya bisa bersembunyi dan pasrah
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kami sudah terkena amukan alam yang sangat
dahsyat ditambah dengan terror para robot, peribahasanya sudah jatuh
tertimpa tangga pula.
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa kami
masih bisa bertahan hidup hanya dengan 2 pohon yang tersisa, yang otomatis
sebagai satu-satunya sumber oksigen di muka Bumi ini.
Tentu saja kemajuan teknologi menyisakan
keuntungan. Kami dapat membuat rekayasa genetika dimana akar dari kedua pohon
tersebut dibuat menjadi banyak, sangat panjang dan membesar sehingga mampu
mencapai setiap titik strategis pada semua kota di muka Bumi, setelah itu
akarnya akan muncul ke permukaan tanah dan berdiri tegak setinggi gedung dengan
50 lantai. Kami juga membuat agar sebuah akar dapat menghasilkan oksigen
sebagaimana daun dengan penambahan sel-sel stomata kecil dan juga sedikit
klorofil sehingga warna akarnya sudah bukan berwarna coklat lagi. Jadi setiap
kota akan menerima pasokan oksigen secukupnya walaupun tidak dapat menyaingi
oksigen yang dihasilkan oleh intinya.
Semua pasukan robot selalu berusaha
menghancurkan 2 pohon yang tersisa karena jika kedua pohon tersebut mati, maka
otomatis semua akarnya akan mati dan seluruh kota akan kehilangan pasokan
oksigen.
Berbeda jika para robot hanya menyerang
akarnya, mau dipotong beberapa kalipun mereka akan tumbuh dengan sendirinya
karena pada dasarnya akar tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat
beregenerasi dengan syarat inti pohon harus tetap terjaga.
"Heh! Mau sampai kapan kau melamun
Vin?" Wisnu menepuk pundakku dengan kasar sampai aku terlonjak saking
kagetnya.
"Hehehe..."Aku hanya bisa
cengengesan. "Eh Nu, memangnya tempat pembagian air kali ini ada di
mana?"
"Em...kalau tidak salah ada di Taman
Kota." Jawabnya sambil terlihat berfikir.
"Itukan berbahaya." Aku
mengingatkan. "Bagaimana mungkin mereka bisa membagikan bantuan di tempat
terbuka seperti itu? Apa kau yakin ini bukan jebakan para robot?"
Kalian pasti akan berpikir ini aneh, kami
berlindung di dalam kubah tapi aku masih mengkhawatirkan hal-hal yang bisa saja
merupakah jebakan dari para robot.
Ada satu hal yang perlu aku ingatkan.
Di dunia yang kejam ini, tidak ada yang
benar-benar bisa dipercaya sekalipun kalian sama-sama manusia yang dihantui terror para robot.
Pengkhianatan bisa saja terjadi dengan
iming-iming perlindungan.
Wisnu menatapku tajam lalu memejamkan
matanya perlahan, tarikan napasnya bahkan sampai terdengar. "Aku pikir
lebih baik kita kesana sekarang, sungguh aku tidak rela jika sampai kehilangan asset berharga seperti air, satu botol itu
menopang hidupku 1 minggu ke depan." Dia bahkan masih memegang teguh
pemikirannya tanpa mendengarkan pemikiranku.
"Bagaimana kalau kita melalui jalan
memutar? Siapa tahu kita bisa memastikan ini jebakan atau bukan. Karena yang
pasti ini satu-satunya saran terbaik pada saat ini." Aku menjentikkan
jari, berharap dia mau menuruti saranku. Dia mengangguk pelan. Oke sekarang
waktunya pengintaian.
Jalan memutar memang memakan jarak yang
cukup jauh untuk mencapai taman kota. Tapi menurutku ini setimpal dengan
kecilnya resiko yang ditanggung, masalahnya sekarang kami sudah sangat
kelelahan dan kehausan, terik matahari hari ini benar-benar tidak bersahabat.
Beberapa kali ku dapati Wisnu melirik kearahku dengan tajam, sepertinya dia
hendak menyalahkanku akan rasa lelah dan haus ini namun diurungkan begitu saja.
"Tunggu!" Aku menghentikan
langkahku sambil mencengkeram lengan Wisnu agar dia berhenti. Aku menatap
lekat-lekat ke arah gang kecil di sebelah perumahan kumuh, ada yang aneh
disana.
"Ada apa?" Wisnu mendesis sambil
menatapku jengkel, terserahlah dia mau kesal atau tidak pada semua tingkah
lakuku hari ini. Yang jelas aku hanya ingin kami bisa selamat sampai tujuan.
Tanganku menunjuk lurus kearah gang, Wisnu
yang notabenenya mendapat predikat jenius di sekolah dapat dengan cepat
mengerti keanehan yang dirasakan di gang gelap itu. Dia mengeluarkan kacamata
penglihat jarak jauh buatannya sendiri, tiba-tiba air mukanya langsung berubah
menjadi cemas. Wajahnya juga sempat berwarna sedikit biru karena lupa bernapas.
"Ada apa?" Suaraku terputus, entah
kenapa aku merasa ketakutan sendiri.
"Kau benar." Wisnu mengusap
wajahnya frustasi. "Ini jebakan."
Seperti tersambar petir di siang bolong,
tubuhku langsung melemas bahkan sampai harus mencari senderan agar tetap bisa
berdiri tegak.
"Bagaimana nasib orang tua kita dan
semua orang?" Wisnu berucap lirih. "Kita harus menyelamatkan
mereka!" Lanjutnya dengan nada seolah-olah itu adalah hal yang mudah untuk
dilakukan.
"Berhentilah bersikap sok pahlawan
seperti itu! Kita bisa mati sia-sia jika pergi kesana tanpa sebuah
rencana!" Aku membentaknya dalam suara pelan sambil mendorong tubuhnya
kasar.
"Hey aku bukan pengecut
sepertimu!" tangannya mengepal lalu mendarat kearah dada bagian kiriku.
"Aku masih punya perasaan untuk menolong mereka! Waktu kita tidak banyak
kau tahu!" Dia mengumpatku lalu nekat berlari kearah taman, untung aku
sempat mendorongnya hingga terjatuh, kalau tidak begini dia tidak akan pernah
mendengarkan perkataanku.
"Kau ini jenius tapi tidak pernah mau
berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, si nekat yang bodoh! Sekarang diam
dan dengarkan rencanaku!" Aku membisikkan rencanaku, lalu dia mengangguk
dan berlari perlahan kearah taman dengan sembunyi-sembunyi, mengikuti rencana
yang sudah aku buat.
Aku merogoh saku bajuku, tersenyum melihat
benda merah kecil yang sekarang berada tepat di telapak tanganku. Untung saja
aku selalu berjaga-jaga membawa sebuah dinamit kecil yang mampu meledakkan
sebuah gedung besar.
Kali ini aku mencari tempat yang cocok untuk
jadi pengalihan, sepertinya sebuah gudang beras yang sudah tidak terlihat
terawat itu tepat, karena aku yakin itu sudah tidak digunakan lagi dan
sepertinya tidak ada orang di dalam sana.
Semoga saja perhatian para robot teralihkan
kearah gudang tersebut dan para warga berhasil di evakuasi Wisnu ke lorong
bawah tanah yang memang disiapkan pemerintah untuk tempat persembunyian saat
terjadi hal yang tidak terduga seperti saat ini.
Bom.... Ledakan besar terjadi, gudang tadi
sudah tidak berbentuk lagi, beberapa puingnya berterbangan. Namun seperti
perkiraanku, tempat jatuhnya tidak akan mengenai Taman Kota.
Dan benar saja, ledakan itu mampu membuat
perhatian para robot teralihkan, namun sialnya aku lupa mencari tempat
persembunyian yang aman. Waktuku benar-benar sedikit, untuk lari dari tempat
ini pasti tidak akan sempat, lalu aku harus bagaimana?
Untung saja mataku dapat menemukan sebuah
tong sampah, aku semakin bersyukur ketika tahu tong sampah itu isinya sedang
sedikit dan tubuh kecilku mampu masuk kedalam sana, ku tutup tong tersebut
secara perlahan.
Langkah kaki besi mereka terdengar jelas
melewati tong untuk mendekat kearah gudang, bulu kudukku bahkan berdiri saking
ketakutannya, napasku tertahan—takut-takut hal itu mampu terdengar—aku serasa
berdiri diantara hidup dan mati.
Mereka bercakap-cakap dengan nada yang
terdengar membentak, masalahnya aku tidak dapat mengerti itu, sepertinya mereka
menggunakan bahasa robot. Entah kenapa saat ini aku benar-benar yakin bahwa aku
sedang dalam keadaan terancam, salah langkah sedikit nyawaku pasti melayang.
Setelah tidak terdengar lagi suara mereka
dan langkah kaki besi tersebut terasa semakin menjauh, aku putuskan untuk
segera keluar dari tong sampah karena cadangan oksigennya semakin menipis dan
napasku mulai terasa berat. Aku mengintip sedikit dari lubang kecil disana,
hanya untuk memastikan bahwa keadaan sudah aman.
Aku mengangkat kakiku secara perlahan,
berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Prang... Sial! Aku malah terjerembab karena
kehilangan keseimbangan, suara stainless steel terdengar begitu keras dan dapat
kulihat bahwa pasukan robot tersebut kembali kearah sini sambil menodongkan
senjata. Habislah riwayatku!
Dengan segenap kekuatan aku segera bangkit,
tapi satu peluru menembus bahuku, rasanya sakit sekali. Tapi ini bukan
penghalangku untuk segera berlari sekencang-kencangnya. Kali ini peluru lainnya
menembus lenganku, darah segar terus mengalir dari lenganku, rasanya sangat ngilu
dan perih karena pelurunya ku yakini menyangkut di tulangku. Kepalaku menjadi
sangat berat, darahnya terus mengalir tanpa henti. Ini bisa berakibat fatal.
Lagi, pelurunya mengenai tulang betisku.
Membuat keseimbangan tubuhku hancur seketika, dengan cepat tubuhku jatuh ke
tanah, kulit wajahku terasa panas dan perih karena bergesekan dengan kerikil
tajam, apalagi salah saru kerikilnya mengenai selaput mataku.
Semua robot mendekat dan mengepungku,
rasanya arwahku sudah melayang begitu saja, rasanya takut sekali sampai dadaku
sesak. Satu robot maju mendekatiku, menodongkan senapan laras panjang yang
dibawanya tepat di keningku, aku menelan ludah. Dengan satu sentakkan, senapan
itu berbunyi dan semuanya menjadi buram seketika.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, mataku
terasa perih karena cahaya yang benar-benar menyilaukan. Setelah beberapa saat,
mataku baru terbiasa dengan cahaya tersebut. Rasanya ruangan ini begitu asing,
baunya juga tidak sedap dan aura mencekam terasa begitu nyata tapi kenapa aku
tidak merasakan ketakutan seperti tadi?
Beberapa robot menyeramkan terlihat
mendekat, aku seharusnya sangat ketakutan sampai terkencing-kencing di celana,
tapi kenapa rasa takut itu seolah hilang ditelan Bumi?
"Dia berhasil!" Salah satu robot
yang mengenakan penutup mata berteriak kegirangan sampai meloncat-loncat, aneh
sekali mendengar robot berteriak dengan kegirangan, tapi kenapa aku tidak
penasaran?
Robot yang mengerubungiku semakin banyak,
tapi aku malah merasa semakin nyaman dengan keadaan ini. Ini aneh, kenapa aku
malah merasa nyaman?
"Selamat bung!" Robot berambut
hijau menepuk pundakku dengan bersemangat."Kau berhasil menjadi bagian
dari kami." Lanjutnya.
Semua robot disitu tersenyum lebar, tawa
renyahpun terdengar menggema di seisi ruangan. Apa aku tidak salah lihat?
Bagaimana bisa mereka terlihat begitu ekspresif? Apa jangan-jangan selama ini
mereka memang sudah memiliki perasaan emosi, hanya para manusia yang tidak peka
saja untuk menyadari keadaan ini? Lalu jika seperti ini. Sekarang hal apa yang
bisa membedakan kami dengan mereka?
"Ini tugas pertamamu bung!" Robot
berwarna kuning menulis di papan tulis dengan huruf yang sangat membingungkan,
tiba-tiba mataku terasa perih. Bukan hanya karena tulisan di depan sana yang
tidak dapat aku mengerti, tetapi entah kenapa aku juga mempunyai naluri bahwa
sepertinya ada sebuah zat di papan tulis itu yang mampu melukai mataku.
"Aku tidak mengerti." Ujarku.
"Oh iya aku lupa memasangkan program
penerjemahnya!" Robot yang mengenakan setelan jas dokter menepuk keningnya
perlahan, dia berjalan meninggalkan tempatnya semula yang ada di pojok ruangan.
"Begini, tugas pertamamu adalah membasmi para manusia."
"Aku manusia." Balasku cepat
dengan nada membentak.
"Bukan." Dia menjawab dengan
enteng sambil menggelengkan kepalanya. "Sekarang, kau itu robot seperti
kami."
Robot berkepala merah menyela. "Atau
lebih tepatnya, kau itu manusia pertama yang berhasil kami jadikan robot,
hahaha!" Tawanya bahkan terdengar menggelegar.
Deg... Jantungku terasa berdegup lebih
kencang dari beberapa detik yang lalu, serasa ada yang menyiksa batin dan
menyesakkan dada. Tapi entah mengapa malah terasa biasa saja.
Aku semakin yakin bahwa sudah tidak ada lagi
yang namanya perasaan emosi atau semacamnya dalam diriku. Dan kalau mereka
bilang aku adalah manusia pertama yang berhasil dijadikan robot, hal tersebut
semakin menguatkan keyakinanku.
Pasalnya itu semua karena Papa pernah
memberitahuku bahwa ada isu para robot sedang melakukan eksperimen
besar-besaran dengan kelinci percobaan manusia yang berhasil mereka tangkap.
Walaupun begitu, tetap saja aku merasa
seperti tengah menelan kenyataan pahit yang begitu menyakitkan. Menyakitkan
jika harus menyadari bahwa aku adalah bahan percobaan yang berhasil, karena aku
takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Sesuatu yang buruk yang terlahir dari
tanganku sendiri.
"Kau sudah siap melakukan
tugasmu?" Robot berkepala merah bertanya sambil mempertunjukan senyum
jahat miliknya. "Baiklah ! Sekarang kau kejar orang ini! Dia berani
mengancurkan rencana kami untuk menjebak para manusia bodoh itu!" Dia
bahkan dengan kejam memutuskannya tanpa menunggu jawaban dariku dulu.
Ku raih foto itu perlahan, mataku
terbelalak. Rasanya seperti harus meminum satu gentong racun yang beratnya bisa
sampai ber ton-ton.
Kau pasti bisa menebak siapa orang yang
berada dalam foto tersebut, dia adalah salah satu orang yang berharga untukku,
orang yang bersedia memperlihatkan sedikit kebahagiaan hidup sebagai manusia.
Dia Wisnu.
Sahabat terdekatku yang bahkan sudah
kuanggap sebagai saudara seperjuangan di dunia yang kejam ini.
Aku benar-benar tidak mau membunuhnya, tapi
entah kenapa otak dan keinginanku tidak lagi sinkron seperti sebelumnya,
tubuhku bergerak dengan sendirinya tanpa dapat ku kendalikan. Gerakannya begitu
cepat sampai aku sadar bahwa sekarang aku sudah berada di depan pintu
persembunyian seluruh warga kota. Tanganku menekan tombol sandi.
Kumohon! Siapapun, selamatkan dia!
Selamatkan umat manusia yang tersisa!